Alam Pikir Nashara, Akhlak dan Amalannya

Termaktub di QS Al Ma’idah [5]:82

Dan demi sesungguhnya engkau akan dapati orang-orang yang dekat sekali kasih mesranya kepada orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Bahawa kami ini ialah orang-orang nashara.”

Insan-insan yang beralam pikiran nashara takdzim dan tawadu’ kepada Almasih (artinya Yang diharumkan dengan minyak wangi sebagai tanda yang ditetapkan Allah untuk membela insan-insan yang dizalimi oleh Dajjal) yang bernama ‘Isa dan memandang beliau sebagai seorang nabi dengan kedudukan istimewa dalam rangkaian persaudaraan para nabi yang sudah ditetapkan Allah Yang Maha Tinggi.

Pengungkapan ketakdziman dan ketawadu’an insan-insan nashara kepada Sayidina ‘Isa jelas berbeza dengan umat Kristian, insan-insan nashara takdzim kepada Sayidina Nabi Isa bukan kerana didikte oleh Dalil atau Rumusan yang diiktiraf Kaisar Rom. Nabi Isa dipandang sebagai insan yang penuh dengan perjuangan dalam menegakkan iman tauhid dengan kesabaran dan kasih sayang. Setelah berpuasa 40 hari lamanya dan menang melawan godaan-godaan Syaitan, Isa Putera Maryam diyakini menerima wahyu setelah thaharah yang disaksikan oleh Nabi Yahya.

Insan-insan nashara meyaqini Almasih sebagai ruh Allah yang ditiupkan Allah dan al-muqarrabiin (yang didekatkan kepada Allah). Pengumuman ketetapan adanya Almasih itu sudah ditetapkan Allah untuk dijalankan oleh Sayidina ‘Isa. Fungsi istimewa Nabi ‘Isa untuk menjadi Almasih yang asli dari Allah yang sudah ditetapkan Allah tersebut diumumkan oleh Allah ketika Nabi ‘Isa setelah beliau berpuasa 40 hari 40 malam dan akhirnya melakukan thaharah disaksikan Nabi Yahya. Namun kedudukan istimewa itu semua kemudian meninggalkan beliau di hari beliau syahid (Jean Danielou, Theologie du Judeo-Christianisme, Paris, 1958, hal. 76).

Insan-insan Nashara berpegang pada Injil Surah Matius (Epiphanius, XXX, hal. 3, 13). (Matta adalah tarjamah Bahasa Arab. Tarjamah Bahasa Inggris memakai Matthew. Tarjamah Bahasa Belanda dan Bahasa Indonesia memakai istilah Matius.)

Mereka meyakini dan menjalankan wudhu serta thaharah. Mereka menjauh dari apa-apa yang najis. Mereka berpantang dari makan daging saat mereka waswas cara menyebelihnya tidak sesuai dengan syariat agama Allah seperti yang dicontohkan oleh Nabi Musa. Mereka menekankan pelayanan-pelayanan tabib atau kedokteran dan menekankan amalan-amalan demi kemaslahatan umat dengan melayani anak-anak yatim piatu, rakyat miskin, dan para musafir.

Amalan menampung fakir miskin, memberi makan orang kelaparan, dan menyambut dengan hangat barangsiapa tanpa pandang bulu dari negeri jauh yang dalam keadaan musafir atau dalam keadaan sedang melakukan perjalanan jauh, itu semua mereka anggap sebagai salah satu amalan yang WAJIB untuk dilakukan. Insan-insan nashara ini sering dihina dan diberi julukan ‘Kaum Duafa atau Fakir Miskin’ atau dalam Bahasa Ibrani ‘Kaum Ebionis’.

Sesungguhnya fakir miskin di hadapan Allah, itulah hakikat alam pikir nashara Ebionit atau nashara fakir miskin (lihat kitab karangan Pangeran Al-Hassan bin Tallal dari Kerajaan Jordan yang bertajuk,

Christianity in the Arab World

… dan lihat juga kitab karangan Hans Küng yang bertajuk,

Islam Past, Present and Future halaman 32-40.

Apalagi, inti hakekat yang diteladankan Nabi ‘Isa adalah “Siapa saja tanpa pandang bulu, kalau sampai jatuh miskin dan papa, Allah Yang Maha Pengasih selalu ada membela harga diri orang yang menjadi fakir tersebut. Ini mengindikasikan adanya hubungan yang dekat dengan wasiyat Sayidina Isa yang bersabda: “thūba lil masākīni” Terahmatilah barangsiapa yang sampai mengalami menjadi duafa fakir miskin”  (Al-Injil Surah Matta 5:3).

Dalam tarjamah bahasa Ibrani (bahasa keturunan-keturunan Nabi Ya’qub) ayat ini berbunyi:

“Terahmatilah barangsiapa yang sampai mengalami menjadi ebionis.”

Kata duafa dalam Bahasa Ibrani adalah ebionis. Karena pada zaman itu, orang-orang keturunan Ya’qub yang beralam pikir nashara seringkali dizalimi karena paradigma keyakinan mereka. Jadi mereka mengungsi keluar dari Tanah Suci Al-Quds Yerusalim, kampung halaman mereka, menuju ke Jasirah Arab dan seluruh wilayah Timur Tengah. Kaum pengungsi nashara walau dalam keadaan hijrah atau dalam keadaan mengungsi tetap selalu membawa Injil Surah Matta atau Matius. Insan-insan nashara adalah orang-orang yang mengungsi hijrah keluar dari kampung halaman mereka. Mereka adalah pengungsi. Merekalah kaum yang berhijrah karena dizalimi di kampung halaman mereka sendiri.

Sebagai pengungsi, insan-insan nashara mengalami nasib menjadi duafa yang papa dan penuh penderitaan. Oleh karena itulah, oleh orang-orang Bani Isra’il yang menzalimi mereka, mereka seringkali dihina dengan julukan “Ebionis” yang artinya nashara kaum pengungsi duafa fakir miskin. Karena ketika itu Tanah Suci Al-Quds Yerusalem atau Al-Aqsa dihancurkan oleh kekuatan-kekuatan asing, insan-insan nashara mengungsi keluar dari Tanah Suci Al-Quds atau Al-Aqsa menyebar ke seluruh Tanah Arab. Oleh sebab itulah di Timur Tengah, terdapat banyak kantong-kantong pengungsi nashara.

Menurut sumber-sumber kesusasteraan Arab, ahli-ahli Politik Gereja(*) Kristian Rom pada satu waktu itu pernah berkomplot dengan golongan-golongan kafir di Tanah Arab untuk membasmi suku-suku nashara duafa di Tanah Arab.

(*) Kata gereja berasal dari kata Igreja adalah kata dalam peradaban Portugis Eropa, artinya “diberi amanah oleh Allah untuk keluar dari dunianya agar bisa bermusyawarah dan bersilaturahmi dengan orang lain.” Orang-orang Portugis meminjamnya dari peradaban Latin Ar Ruum Italia. Orang-orang Latin Ar Ruum Italia meminjamnya dari peradaban Yunani yaitu kata ekklesia yang artinya memang “diberi amanah oleh Allah untuk keluar dari dunianya dan tidak boleh memikirkan dirinya sendiri saja dan mencari enaknya diri sendiri saja, tapi harus mau bermusyawarah dan bersilaturahmi dengan orang lain. Orang-orang Eropa Kuno tersebut memperoleh konsep ini dari Kitab Taurat, Kitab Zabur, dan Kitab Injil yang semuanya diturunkan Allah. Allah melalui peradaban masyarakat orang-orang keturunan Nabi Ya’qub alaihissalam yang berpusat di Kota Suci Al-Qudsi Yerusalem Timur Tengah yang juga disebut Al-Aqsa. Ringkasnya kata igereja artinya adalah diberi amanah Allah untuk bermusyawarah dan bersilaturahmi dengan orang lain. Jadi gereja bisa dikatakan sebagai jama’ah silaturahmi insan-insan yang takdzim dan tawadu’ kepada Sayidina ’Isa Almasih.

Beberapa studi abad-abad pertama Islam menemukan bahawa hijrah atau keadaan menjalani hidup sebagai pengungsi yang penuh penderitaan yang dialami oleh insan-insan nashara duafa atau ebionit tersebut adalah satu nafas dengan hikmah yang ada dalam Al-Qur’an. Tidak seperti umumnya orang-orang Yahudi yang merendahkan ‘Isa sebagai penipu dan sama sekali bukan Nabi Allah, insan-insan nashara yang hijrah tersebut dan hikmah yang ada dalam Al-Qur’an satu suara seia sekata bahwa Sayidina ‘Isa adalah Nabi Allah dan bahkan Utusan Allah bukan seorang penipu seperti yang dituduhkan oleh orang-orang Yahudi. Pengungkapan ketakdziman dan ketawadu’an kepada Sayidina ‘Isa seperti ini jelas tidak boleh dibanding-bandingkan dengan pengungkapan ketakdziman dan ketawadu’an insan-insan Kristian Eropa yang didikte oleh Dalil dan Rumusan yang diiktiraf oleh Kaisar Rom. Itulah cara pengungkapan ketakdziman kepada Sayidina ‘Isa dalam konteks masyarakat Ruum Tanah Eropa.

Keduanya jelas tidak boleh dibanding-bandingkan, karena hijrah atau keadaan menjalani hidup sebagai pengungsi yang penuh penderitaan yang dialami oleh insan-insan nashara dan hikmah yang ada dalam Al-Qur’an kedua-duanya terjadi dalam konteks Mekah di Timur Tengah.

Artikel sebelum ini Blog Abdushomad Artikel selepas ini