Saat meninggalnya kakeknya yang saleh, Abdul Muttalib, Muhammad tengah berusia delapan tahun. Pamannya Muhammad, Abu Thalib, yang kemudian meneruskan tanggung jawab atas pendidikan Muhammad dan mengenalkan Muhammad kecil ke Bani Hashim dan memperkenalkan alampikiran nashara kaum Quraysh kepada Muhammad kecil.
“Abu Thalib mengemban tugas-tugas terkait keponakan laki-lakinya tersebut. Ia memperlakukan Muhammad seakan puteranya sendiri dengan hormat dan martabat. Ia mengasuhnya selama 40 tahun, dan selama itu pula ia mendapatkan banyak kawan dan lawan, akibat dukungannya terhadap keponakannya yang bernama Muhammad tersebut.”
(Al-Halabiyya, hal. 48.)
Apabila kita menimbang semua laporan tentang Abu Thalib, patut dicatat bahwasanya kesalehan-kesalehan beliau sebagian besar adalah kerana beliau menjalani hidup beliau pada jalan yang lurus yang adalah intisari dari ketauhidan alampikiran nashara, dan sama sekali bukan intisari penyembahan berhala yang mengutamakan segala macam ilah-ilah yang diutamakan orang-orang dalam sukunya. Seperti ayahnya, Abu Thalib merawat fakir miskin meskipun keluarganya berada dalam kondisi yang pas-pasan.
Pesan terakhir beliau dan wasiat yang ditinggalkan beliau kepada anak-anaknya mencerminkan akhlaq-akhlaq mulia dan luhur yang ditekankan oleh keyakinan nashara. Menjelang sakratulmaut ia menasihatkan,
“Kalau ada orang mengundang mu, tanpa pandang bulu, kau harus menghargai undangan orang tersebut kepada mu. Jangan didiamkan orang tersebut. Kalau ada orang sangat memerlukan pertolongan dari mu, berikanlah apa saja yang dia minta agar dia tertolong. Sedekahlah pada yang meminta padamu. Itulah indahnya kehidupan dan kematian.”
(Muhammad Abu Hamid al-Ghazali, Fi figh al-sirah “Tentang Yurisprudensi biografi,” hal. 67).
Memang Abu Thalib terkenal karena kebaikan-kebaikannya. Ibn Sa’d melaporkan,
Suatu ketika Abu Thalib pergi ke Damaskus di Negeri Suryani di mana ia menemui seorang rahib yang takdzim dan tawadu’ kepada Sayidina ‘Isa. Rahib tersebut berkata padanya,
“Ada orang saleh atau orang yang baik di keluarga besar mu.”
Abu Thalib menjawab,
“Di dalam keluarga besar kami ada salah satu keluarga kami yang selalu dengan ikhlas menyambut orang-orang asing yang dalam keadaan musafir, membebaskan para tawanan, dan bersedekah.”
(Ibn Sa’d, Vol. I, hal. 120.)
Suatu pernyataan yang sangat penting yang pernah diucapkan Abu Thalib yang menjadi penanda yang sangat jelas tentang adanya silaturahmi bathin antara Abu Thalib dengan bapaknya, yaitu Abdul Muttalib adalah,
“Aku merupakan pengikut alampikiran Abdul Muttalib pada saat beliau meninggal dunia.”
(Ibn Sa’d, hal. 122.)
Pihak-pihak lainnya mengatakan bahwa,
“Abu Thalib itu sungguh sama seperti bapaknya.”
(Al-Halabiyya, hal. 125; al-Makkiyya, hal. 91.)
Dengan kata lain, paman Muhammad, Abu Thalib, berasal dari latar belakang bathin yang sama dengan bapaknya.
Seperti yang dicontohkan oleh mendiang Abdul Muttalib, Abu Thalib juga menolak penyembahan berhala. Ia juga merawat fakir miskin. Ia juga mengamalkan ritus di situs yang sama seperti yang diamalkan bapaknya. Ia berpuasa pada bulan Ramadhan.
Meskipun kebanyakan orang dari suku Quraysh menyukai penyembahan berhala-berhala dan mengutamakan segala macam ilah-ilah lain selain Allah, Abu Thalib adalah orang Quraysh yang menganut keyakinan tauhid haniifan musliman (QS Ali Imran [3]:67), suatu paradigma keyakinan Semitik/Samawi yang dahulu kala dipeluk Sayidina Nabi Ibrahim beserta nabi-nabi lainnya.
Artikel sebelum ini | Blog Abdushomad | Artikel selepas ini |