Penjelajahan alam pikir untuk menemukan suatu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan selalu menarik. Apalagi pertanyaan-pertanyaan yang pada galibnya bukan rasional melulu, melainkan pertanyaan batiniah.

Dalam ranah keagamaaan, ada agama-agama yang memiliki sejumlah kesamaan. Sebutlah Islam dan Nasrani. Ada kitab-kitab yang diakui keduanya sebagai Kitab Suci, misalnya Taurat, Zabur, dan Injil. Sejumlah tokoh juga diakui kedua agama sebagai nabi. Misalnya Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Yahya, dan Nabi Isa. Juga sejumlah kisah ilahi, dikenal baik dalam kedua agama. Misalnya, Kisah Nabi Adam dan Siti Hawa, Nabi Musa dan bani Israil di tanah Mesir, atau pun Kisah Nabi Daud dan Jalut.

Sekalipun demikian, tentu saja ada sejumlah perbedaan di antara kedua agama. Kenyataan ini sangat mungkin menimbulkan sejumlah pertanyaan di kalangan umat yang menyadari adanya kesamaan dan
juga perbedaan, selain sikap dan tanggapan yang beragam pula. Kisah dalam buku ini merupakan gambar contoh yang jelas.

Sebagai kalangan biasa, dua orang sahabat melakukan serangkaian percakapan mengenai sejumlah pikiran. Percakapan yang terkesan kuat terjadi secara leluasa. Bebas dari prasangka, dan dalam semangat keterbukaan untuk mencari, disertai penghargaan terhadap pikiran-pikiran yang berbeda. Mengalirlah pemikiran-pemikiran tajam, di antaranya mungkin memberi kesan radikal bagi salah satu dari mereka. Sungguh suatu kebebasan berpikir dan berpendapat yang nyata. Percakapan ini telah terjadi di antara mereka, sebagai sahabat. Bisakah percakapan-percakapan semacam ini menjadi keseharian negeri ini yang gemar hiruk-pikuk debat kusir di ruang publik? Nian gaduh. Semoga masih ada harapan kebajikan bagi republik yang bukan mimpi ini.

PDF=Iman Seorang Ismail (726 Kb)