Suatu saat datang seorang jemaah Majelis Taklim yang saya bimbing, (sekarang sudah berganti nama dengah SIROH – Siraman Rohani) dan bercerita pada saya bahwa sekarang hidupnya dalam keadaan sulit dan hancur. Dia lanjut cerita bahwa semua hasil kerja kerasnya selama ini ludes dibawa seseorang yang sangat dia cintai, dan pasca-Corona dirinya tidak lagi punya kerjaan selain menganggur, nongkrong di taman dan di pinggiran jalan hingga larut malam.
Ia mengaku sangat marah dan membenci temannya itu, dengan tekat bulat dia telah menghakiminya, dia tidak lagi peduli untuk kembali berbaikan lagi dengannya dengan cara apapun. Dia benar-benar sangat kecewa, dan ingin pergi jauh ke mana sahaja untuk hilangkan kecewa dan amarahnya itu dan tenangkan diri, namun tidak dapat berdaya apa-apa.
Selanjutnya dia minta pandangan dari saya sebagai orang tua dan juga pembimbing majelis taklim yang kadang juga dia hadiri majelis itu. Selain itu dia pikir saya juga tahu hukum Agama Islam dan mungkin sangat berharap agar saya dapat membenarkan tindakannya yang sudah dia terlanjur lakukan. Mungkin juga dia berharap bahwa tindakannya itu tidak akan salah menurut hukum Syariat Islam.
Saya terus menyimak cerita dan rekam kasus yang dikatakannya itu. Alhamdulillah, apa yang dia harapkan, dalam perspektif syariat ya, dia di pososi dibenarkan tapi dalam benak saya berkata lain bahwa belum tentu semuanya yang sudah dilakukannya itu benar. Saya mencoba amati dari dalil-dalil yang saya cermati dalam Hadits dan Fikih Islam, pendapat para Ulama, juga mendukung tindakan yang sudah dia lakukan. Kembali saya menahan diri untuk tidak memuaskan dia dengan dalil-dalil fikih itu.
Alhamdulillah saya tiba-tiba ingat akan perkataan Nabi Isa al-Masih a.s.,
Jangan hakimi orang lain, supaya kamu tidak dihakimi. Kerana sebagaimana kamu menghakimi orang, demikian jugalah kamu akan dihakimi. Ukuran yang kamu gunakan untuk menghakimi orang lain akan digunakan Allah untuk menghakimi kamu …
(Kitab Suci Injil, Surah Matius 7:1-5.)
Juga perkataan-Nya yang lain,
Kamu telah mendengar ajaran begini: “Mata diganti dengan mata, gigi diganti dengan gigi.” Tetapi sekarang Aku berkata kepadamu: Janganlah membalas dendam terhadap orang yang berbuat jahat kepadamu …
(Kitab Suci Injil, Surah Matius 5:38-42.)
Saya ingat juga terhadap perkataan Nabi Isa al-Masih bagaimana Ia mengajarkan cara menyikapi dan menghadapi musuh dan orang yang suka berbuat jahat, dengan bersabda,
Kamu telah mendengar ajaran berikut: “Kasihilah sahabatmu dan bencilah musuhmu.” Tetapi sekarang Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan doakan orang yang menganiayamu. Dengan demikian kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di syurga; …
(Kitab Suci Injil, Injil Matius 5:43-45.)
Nabi Isa bersabda lagi,
Jika kamu mengampuni orang yang bersalah kepadamu, Bapamu yang di syurga akan mengampunkan kesalahanmu juga. Tetapi jika kamu tidak mengampunkan kesalahan orang, Bapamu yang di syurga juga tidak akan mengampunkan kesalahanmu.
(Kitab Suci Injil, Surah Matius 6:14-15.)
Dalam perkataan-Nya yang lain:
Perintah kedua sama pentingnya: “Kasihilah sesama manusia sebagaimana kamu mengasihi dirimu sendiri …
(Kitab Suci Injil, Surah Matius 22:39-45.)
Semua perkataan Nabi Isa itu sontak memenuhi benak pikiran saya, dan yang tadinya urusan fikih dan dalil-dalil Syariat Islam yang ingin kami bahas untuk dasar membenarkan tindakan dia seketika hilang dari fokus perbincangan kami. Saya mulai dengan cara yang tak lazim kerana kebiadaan lama. Saya sangat tegas bahkan keras bila bahas fikih Islam. Namun saya lebih perlahan-lahan dan tenang, satu demi satu saya alihkan perkataan saya kepada sabda Nabi Isa, dengan pelan keluar dari mulut saya dan kami bahas cara Nabi Isa menyikapi orang yang bersalah dari kesalahan yang ringan, sedang sampai yang paling ekstrim. Mungkin dia turut aktif untuk menyimak dan membandingkannya dengan Syariat Islam. Saya mulai dengan sedikit pengantarnya dan setelah iru mulai sedikit untuk masuk point, intinya, namun penyampaiyan tiba-tiba terhenti.
Saya tertegun melihat pada dia yang mulai menangis. Saya tidak paham alasan apa dia menangis sebab dia orang yang bertempermen protektif, tegas juga fanatik. Tampak dia merasa sangat menyesal dan terus meluapkan emosinya dengan tangisan. Lagi-lagi saya bertanya-tanya di hati kecil saya, ada apa, apakah tersinggung kerana kata-kata saya yang tidak lazim itu? Walahu’alam, hanya Allah sahaja yang tahu.
Dalam keadaan masih menangis dia mulai cakap kepada saya dan berkata, “Saya ini terlalu banyak kesalahan, berdosa kepada Allah. Saya tidak pernah salat (berdoa) di rumah atau di masjid, saya juga tidak pernah puasa. Saya terkadang ikut majelis taklim hanya supaya saya dianggap seorang Islam,” dan seterusnya dia sebut bermacam-macam kesalahannya. Ada cerita tentang kesalahan orang yang dia sangat cintai, juga kesalahan-kesalahan dari orang lain.
Saya hanya diam untuk terus mendengarkan dia bercakap. Dan masih terus heran, kerana apa yang dia sampaikan sebagai kesalahan justru tidak benar kerana tidak semua yang dia katakan itu benar. Seba dia orang yang sangat rajin beribadah, solat, puasa, hukum syariat sangat dia patuhi, militan, fanatik, ekstrimis semua ada padanya.
Saya tetap tenang untuk mendengarkannya dan menunggu untuk dia memberitaukan alasan mengapa dan apa yang menyentuhnya sehingga dia menangis, sedangkan saya belum cakap banyak apa lagi menghakimi atau menghukumnya.
Tak lama kemudian isteri saya mendatangi kami lantaran ada suara tangis yang dia juga tak tahu ada persoalan apa! Saya bersama isteri kemudian membantu menenangkan dan berharap dia segera tenang untuk mennyampaikan perasaannya itu. Saya tetap posisikan diri lebih tenang dan berusaha untuk tidak menghakimi atau menghukum siapapun dari yang dia fahami.
Saya coba perlahan-lahan lagi dan samapaikan kepada dia perkataan nabi Isa yang sudah saya pendam untuk disampaikan. Alhdulillah, saya dapat bimbingan Ruh Allah kemudian menuturkan semua yang di perkatakan Nabi Isa kepadanya.
Di ujung penyampaian saya, atas izin Allah dia sangat lega dan bahagia. Saya segera memberinya kesempatan untuk sampaikan apa yang disyukuri dari perkataan Nabi Isa al-Masih yang sudah kami bahas.
Dia hanya berkata Alhamdulilih dan syukur kepada Allah, luar biasa dan ini baharu kali pertama yang pernah saya alami sepajang hidup saya. Kemudian dia mulai mahu beri alasan mengapa dia menentang Kitab Suci Injil. Katanya, saya menangis kerana: penghakiman Allah, malailat-malaikat Allah, nabi-nabi Allah, kitab-kitab Allah, dari jenis manusia, haiwan, bintang, juga mahluk-mahluk Allah bahkan batupun akan berkata aku juga mahu hakimi dia kerana dia pernah menghakimi saya. Jadi apa yang saya sudah anggap paling benar, paling suci, paling adil kelak akan meminta haknya kepada Allah untuk menghakimi saya. Juga, kata yang menyentuh saya menangis adalah awal ucapan saya kepada dia yang saya kutip dari perkataan Nabi Isa al-Masih yang menyatakan, “Jangan memhakimi supaya kamu dihakimi,” dan seterusnya.
Kerana itu dia sangat menyesal dan berkomitmen untuk lebih sungguh-sungguh, untuk belajar lebih dalam tentang rahmat Allah.
Saya pun ucapkan rasa syukur kepada Alllah, kerana Allah turut serta orang yang percaya (mukmin) untuk mendatangkan kebaikan bagi siapa yang mengasihi Allah. Sayapun akhiri jumpa kami itu dengan kalimat, “Ketika penghakiman lebih dahulu maju, maka kasih dan pengampunan menjadi sukar untuk dirasakan oleh orang lain.”
Allah tidak pernah menuduh atau menghakimi manusia, kerana manusia yang berdosa dan dalam keterpurukannya tak membutuhkan penghakiman bahkan tudingan melainkan ia butuh dan perlu didengar seraya mendengarkan kata-kata penguat. Sehingga iman dan pengharapannya kembali tumbuh. Artinya, kecenderungan seseorang dalam merespon kesalahan seseorang dengan tuduhan, penghakiman dan hukuman, sebenarnya kita telah menutup kesempatan untuk menyampaikan rahmat dan kasih Allah kepada orang yang telah berbuat salah.
Sejujurnya, Allah tidak seperti yang disangkakan oleh kebanyakan orang bahwa hukum Syariat yang di praktekkan untuk menghakimi dan menghukum orang bersalah sebagai cara yang tepat tegakkan keadilan hukum Allah yang patut untuk dipertahankan. Sangatlah relatif. Jika terus dipertahankan, sebab rahmat dan kasih Allah akan terbelenggu dan tidak dapat bebas untuk berperan secara maksimal untuk hidup manusia dan di ruang hampa dan kosong.
Tidak tepat bagi siapapun untuk menghakimi dan menghukum orang yang bersalah, kerana Allah itu Ar-Rahman Ar-Rahim (Maha Pengasih dan Penyayang), Allah juga Al-Ghafur (Maha Pengampun).”
Jangan menghakimi, kerana Allah tidak menghakimi siapapun. Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan, kerana Allah tidak jahat kepada siapapun. Jangan menghina kerana Allah tidak menghina kepada siapapun, melainkan Allah itu pembawa kedamaian.
Semoga dapat bermanfaat.
Ustaz M. Faridz Al-Salmani
Artikel sebelum ini | Blog Ustaz Faridz | Artikel selepas ini |