Perjuangan Waraqa dalam menjunjung tinggi iman tauhid hanya kepada Allah
Menurut Hadis sahih Bukhari, karena insan-insan nashara yang berhijrah dari Tanah Suci Al-Quds Yerusalem atau Al-Aqsa menuju Mekah untuk bermukim di Mekah sebelumnya sudah mengenal Injil dalam bahasa Ibrani, bahasa yang digunakan di Tanah Suci Al-Quds, maka Waraqa mencurahkan banyak waktunya untuk menerjemahkan Injil berbahasa Ibrani tersebut dengan memakai huruf hijaiyah untuk bahasa di tempat pengungsian agar boleh difahami oleh segala macam orang di Mekah. Selain memahami bahasa Arab yang dipakai segala macam orang di tempat pengungsian tersebut, Waraqa juga fasih dalam bahasa Suryani Aramaik, bahasa pergaulan yang penting ketika itu dan juga fasih bahasa Ibrani, bahasa diniyah Bani Isra’il. Semua bahasa tersebut digunakan oleh Waraqa saat menterjemahkan Injil berbahasa Ibrani ke dalam bahasa yang dipakai orang-orang di Mekah, tempat pengungsian kaum Quraysh.
Injil berbahasa Ibrani diakui oleh beberapa pemimpin jama’ah silaturahmi insan-insan yang takdzim dan tawadu’ kepada Sayidina ‘Isa pada zaman dahulu, baik Jama’ah Silaturahmi insan-insan Yunani maupun Jama’ah Silaturahmi insan-insan Latin atau Ruum Roma. Injil bahasa Ibrani lah yang diakui dan ditilawahkan ketika itu. Kitab Injil berbahasa Ibrani tersebut banyak didapati di jama’ah-jama’ah silaturahmi insan-insan yang takdzim dan tawadu’ kepada Sayidina ‘Isa di Timur Tengah. Seorang imam jama’ah silaturahmi yang bernama Jerome (meninggal tahun 419 Sesudah Masehi) mendapati Kitab Injil berbahasa Ibrani tersebut di Aleppo Suryani.
Imam Jerome menerjemahkannya dari Huruf Suryani Aramaik ke dalam Huruf Latin Ruum (St. Jerome, Commentaire sur Isaie, Vol. XI, hal. 2; Commentaire sur Matthieu, Vol. XII, hal. 13; Dialogue contre les Pelagiens, Vol. III, hal. 2). Seorang Imam Jama’ah Silaturahmi yang bernama Imam Ignatius dari Kota Anthakiya yang mati syahid pada 107 Sesudah Masehi dikatakan pernah mengacu pada Kitab Injil berbahasa Ibrani tersebut (Ignatius dari Antiochea, Smumes, Vol. III, hal. 2).
Begitu pula Imam Origen, seorang imam jama’ah silaturahmi insan-insan yang takdzim dan tawadu’ kepada Sayidina ‘Isa di Iskandariya Mesir di pertengahan abad ketiga juga sering berbicara mengenai Injil berbahasa Ibrani tersebut (Origen, Commentaire sur Saint Matthieu, Vol. XV, hal. 14).
Injil di tahun 40 Sesudah Masehi sampai tahun 600-an Sesudah Masehi tidak dalam bentuk satu bendel buku seperti di zaman moden sekarang ini. Injil itu dalam bahasa Yunani Evangel yang dalam Bahasa Indonesia Kabar Yang Melegakan. Dalam bahasa Inggris Good News. Dalam Bahasa Arab al-busyro atau al-mubassyiriin atau akhbarsyara.
Injil diturunkan bukan sebagai buku yang langsung turun dari langit dengan memakai tinta langit dan huruf huruf langit, namun diturunkan lewat para saksi mata dan yang mendengar dan melihat secara langsung Sayidina ‘Isa di zaman beliau dan segala keadaan sosial politik dan sentimen sejarah di zaman Sayidina ‘Isa. Saksi-saksi mata yang menulis Kabar Yang Melegakan tersebut tentu sudah ditetapkan Allah. Mereka adalah Matta al-Hawari, Marqusa al-Hawari, Luqa al-Thabib, Yahya al-Hawari, yakni insan-insan yang sejaman dengan Sayidina ‘Isa yakni pada awal Abad I Sesudah Masehi, tahun 1 sampai 40-an Sesudah Masehi.
Dalam Bahasa Inggris penamaan mereka adalah “Matthew, Mark, Luke, John.” Dalam Bahasa Melayu penamaan mereka “Matius, Markus, Lukas, Yohanes.” Pengalaman yang dialami oleh saksi mata selalu sahih dan tidak dibuat-buat dan tidak bisa disanggah oleh siapapun karena Injil adalah semacam keterangan saksi mata.
Insan-insan yang takdzim dan tawadu’ kepada Sayidina ‘Isa di seluruh dunia membaca Injil mengenai Sayidina ‘Isa berdasarkan saksi mata saksi mata tersebut yang bernama Matius, Markus, Lukas, Yahya. Setiap keterangan saksi mata adalah sahih.
Dengan lugas Al-Quran menyatakan bahwa Injil adalah pesan Allah yang disampaikan kepada Isa, putra Maryam.
“Allah menurunkan Taurat dan Injil” (QS ‘Ali `Imran [3]:3).
“Kemudian Kami iringi sesudah – mereka: utusan-utusan Kami silih berganti, dan Kami iringi lagi dengan Nabi Isa ibni Maryam, serta Kami berikan kepadanya: Kitab Injil; dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutnya perasaan belas kasihan” (QS Al Hadid [57]:27).
Al-Quran menyatakan pentingnya adanya saksi untuk membuktikan kesahihan perjuangan ketauhidan Nabi, persis seperti yang saksi-saksi tersebut dapati di kitab-kitab Taurat dan Injil bahawa ketauhidan yang mengutamakan hanya Allah memang sangat sangat harus diutamakan oleh Allah dan insan-insan yang beriman kepada Allah (QS Al Ma’idah [7]:157).
Siapapun yang haqul yaqin pada pesan-pesan Injil pasti sangat menghargai keterusterangan dan kelugasan Al-Quran yang menyatakan: “haqul yaqin pada pesan-pesan Injil bererti mushaddiqallimaa baina yadaihi, artinya haqul yaqin pada Injil berarti haqul yaqin bahawa kitab sebelum Injil adalah haq Allah benar (QS Al Ma’idah [5]:46).
Haqul yaqin pada pesan-pesan Al-Qur’an bererti haqul yaqin bahawa kitab sebelum Al-Qur’an adalah haq Allah benar. Dengan cara yang unik, Al-Quran menyatakan bahawa Injil yang diterjemahkan Waraqa ke dalam bahasa yang digunakan orang-orang di JazirahArab di zaman Nabi Muhammad itu haq Allah benar.
Di dalam Injil ada huda wa nuur (QS Al-Ma’idah [5]:46). Di dalam Injil ada petunjuk dan cahaya. Itulah Injil yang ditilawatkan oleh insan-insan hijrah nashara duafa (QS Ali ‘Imran [3]:113). Tapi walaupun begitu adanya di daerah-daerah sekitar Mekah, kabar-kabar yang melegakan yang ditulis saksi-saksi mata lainnya dan suhuf-suhuf yang ditilawatkan oleh insan-insan nashara juga beredar di antara suku-suku yang takdzim dan tawadu’ kepada Sayidina ‘Isa di Arab Tengah.
Sang Ra’is Aam Waraqa, sebagai yang mengangon atau menggembalakan atau ra’is aam insan-insan nashara di Mekah mengemban tanggungjawab terkait majlis taklim (bersilaturahmi untuk mencari ‘ilmu), pemberian arahan, dan tafsir. Beliau harus menjelaskan Injil kepada para kerabatnya sendiri yang sebagian besar karena sebab khilaf mengabaikan perkara-perkara diniyah. Itulah alasannya mengapa beliau menterjemahkan Injil yang berbahasa Ibrani yang sejak dahulu selalu dibawanya dari Tanah Suci Al-Quds Yerusalem atau Al-Aqsa walau dalam perjalanan hijrah ke Tanah Mekah.
Di tempat hijrah tersebut, beliau menterjemahkan Injil Matta (Matius) dari Huruf Ibrani ke dalam Huruf Hijaiyah Arab yang jelas dan mudah difahami oleh orang-orang yang bermukim di Mekah ketika itu. Meskipun beliau oleh orang-orang di Mekah ketika itu dituakan atau didudukkan sebagai yang pertama diantara kaum mereka, pemimpin kaum mereka, kepala kaum mereka, dan pembimbing kaum mereka, namun beliau menjalankan peran ra’is aam tersebut dengan rendah hati dan menjauhi apapun yang berpotensi jadi riyak.
Di sekeliling Waraqa ada sejumlah orang-orang dari suku Quraysh yang berbakat, termasuk kakek beliau, Abdul Muttalib, yang dikenal sebagai “Majikan Paling Berwibawa di Mekah” ketika itu. Orang-orang terkemuka lainnya adalah Abu Bakar al-Siddiq, Usman, ibn Al-Huwayrith, Zayd ibn Nufayl, ‘Ubaidillah ibn Jahsh, ‘Abdul Abdulullah ibn Jad’an serta orang-orang lainnya yang terkenal paling khusuk dalam amalan tahanush pertapaan Gua Hira.
Dalam daftar orang-orang berpengaruh ketika itu boleh ditambahkan nama Muhammad yang semuanya mengabdi bersama Waraqa selama empat puluh empat tahun demi menjunjung tinggi iman tauhid seperti yang dicontohkan oleh para pendahulu di masa lampau dan menjaga marwah dan harga diri suku Quraysh, dan akhirnya Muhammad selaku penerus disebut sebagai Nabi dan Rasul utusan Allah.
Tugas-tugas menggembalakan orang yang diemban sang ra’is aam suku Quraysh ini dirasa bertambah banyak, oleh karena itulah, Waraqa memberi perhatian beliau pada Muhammad. Oleh kerana itu, Waraqa menikahkan Muhammad dengan Khadijah. Waraqa memperkenalkan Muhammad pada amalan tahanush bertapa dan tafakur di Gua Hira. Tahanush di Gua Hira adalah ritual insan-insan yang ber-alam pikiran nashara.
Waraqa lah yang mengumumkan kenabian Muhammad kepada rekan-rekan Arab beliau di Mekah. Semua tugas lainnya sebagai seorang pemimpin Mekah dalam hal diniyah dan dalam hal lahiriyah bersifat tidak hanya bergantung pada beliau sahaja karena Waraqa dan Muhammad saling terikat satu nafas untuk mencapai tujuan bersama.
Di kemudian hari, berbagai pengarang dan penulis Riwayat Muhammad dalam literatur Hadis dan Sahih mengakui adanya peran bersama yang unik antara seorang ra’is aam dan seorang nabi. Al-Bukhari menulis, “Semenjak wafatnya Waraqa, wahyu terasa jadi hambar dan kering.” (Al-Bukhari d. 870, Sahih, Vol. I hal. 38.)
Pandangan Nabi Muhammad mengenai kematian Waraqa sungguh sangat berarti sekali. Nabi bersabda,
“Aku melihat beliau di tengah Syurga. Beliau terbungkus kain putih. Aku bisa merasakan betapa damai dan tentram perasaan beliau berada di satu syurga atau dua syurga.” (Al-Halabiyya, hal. 274.)
Artikel sebelum ini | Blog Abdushomad | Artikel selepas ini |