Orang-orang yang beralampikiran nashara dulunya adalah orang-orang Qudsi yakni orang-orang Kota Al-Quds atau Yerusalim yang berhijrah atau mengungsi ke Mekah sebelum Muhammad lahir.
Jadi dulunya mereka adalah orang-orang Bani Isra’il keturunan Nabi Ya’qub. (Bani Isra’il di sini jelas tidak mengacu kepada Negara Zionisme Israel di Zaman Moden ini.)
Pada awal kenabian Muhammad, orang-orang yang beralampikiran nashara tersebut menerima peringatan agar tidak iri terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.
“Dan orang-orang yang Kami berikan Kitab, mereka bersukacita dengan apa yang Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad).”
QS Ar Ra’d [13]:36.
Kerana kenyataannya, orang-orang Arab memang Bukan Golongan Ahli Kitab. Orang-orang Arab ketika itu pun tidak marah-marah dan tidak membangkang pada Rasul Allah karena sang Rasul Allah telah memberikan kitab suci yang tertulis dalam bahasa mereka sendiri. Terkait ini, diingatkan: supaya kamu tidak mengatakan:
“Bahawa Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan dahulu sebelum kami (Yahudi dan Nasrani), dan sesungguhnya kami lalai (tidak faham) akan apa yang dibaca dan dipelajari oleh mereka.”
QS Al An’am [6]:156.
Dengan arif dan sungguh-sungguh, Muhammad mempelajari tugasnya. Ia tidak mau lengah dan tidak melupakan apapun yang berasal dari Kitab sebelum Qur’an. Oleh Muhammad, apapun yang dari Kitab sebelum Qur’an selalu dianggap sebagai petunjuk untuk diimani dan diamalkan. Bahkan bangsa binatang-binatang dan bangsa burung-burung semuanya satu suara yakni mentauhidkan Allah seperti yang ditekankan kitab Allah.
“Dan tidak seekor pun binatang yang melata di bumi, dan tidak seekor pun burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan mereka umat-umat seperti kamu. Tiada Kami tinggalkan sesuatu pun di dalam Kitab; kemudian mereka semuanya akan dihimpunkan kepada Tuhan mereka.”
QS Al An’am [6]:38.
Rasul Allah tahu benar dan menikmati keindahan iman beserta mukzijat akhlak kerana mengamalkan kitab-kitab Allah Taurat, Zabur, Injil, Qur’an.
“Katakanlah (Muhammad): “Wahai Ahli Kitab! Kamu tidak dikira mempunyai sesuatu ugama sehingga kamu tegakkan ajaran Kitab-kitab Taurat dan Injil dan apa yang diturunkan kepada kamu dari Tuhan kamu.”
Syariah satu suara dalam rangka mentauhidkan Allah
Rentetan paristiwa-paristiwa turunnya wahyu-wahyu ilahi tersebut dibuktikan dengan adanya keterpaduan syariah yang berlaku sejak Zaman Sayidina Nuh, Musa dan ‘Isa serta semua nabi dan kaum-kaum, sampai pada Zaman Muhammad pun masih terus berpadu dengan penuh ramah mesra. Syariah adalah hukum suci dan bersifat abadi.
“… Kerana engkau tidak sekali-kali akan mendapati sebarang perubahan bagi ‘Sunnatullah’ (undang-undang peraturan Allah), dan engkau tidak sekali-kali akan mendapati sebarang penukaran bagi perjalanan ‘Sunnatullah’ itu.”
QS Faṭir [35]:43.
Ini adalah syariah yang sama yang diterima Nuh.
“Allah telah menerangkan kepada kamu ugama yang Ia tetapkan hukumnya – apa yang telah diperintahkanNya kepada Nabi Nuh …”
Para rasul dan nabi telah membawa syariah tersebut.
“(Demikianlah) peraturan (Kami yang tetap mengenai) orang-orang yang telah Kami utuskan sebelummu dari Rasul-rasul Kami; dan engkau tidak akan dapati sebarang perubahan bagi peraturan Kami yang tetap itu.”
QS Al Isra [17]:77.
Jadi tugas serta peran Muhammad adalah menjelaskan kepada umatnya mengenai Sunnah Nabi-nabi sebelum Muhammad dan membantu umatnya dalam memahami dan mengamalkan sunnah Nabi-nabi sebelum Muhammad. Yang dikehendaki Allah untuk Muhammad ialah:
“… untuk menerangkan (SyariatNya) dan untuk menunjukkan kepada kamu jalan-jalan aturan orang-orang yang dahulu daripada kamu (Nabi-nabi dan orang-orang yang soleh, supaya kamu mengikutinya).”
QS An Nisa’ [4]:2.
Namun, bagaimanapun juga terdapat ketidaksesuaian antara ketetapan dan peraturan-peraturan yang ditetapkan Muhammad dengan sunnah para pendahulunya. Memang kelihatannya ada perbezaan, namum perbezaan tersebut, dengan izin Allah, justeru untuk meringankan dan tidak memberatkan umat Muhammad dengan peraturan-peraturan yang berat-berat.
Perbezaan tersebut diizinkan oleh Allah untuk tidak memberatkan insan-insan yang lemah dan papah kerana Allah sungguh ingin tidak memberatkan insan-insan yang lemah dan papah. Alasan lain mengapa Allah mengizinkan perbezaan itu adalah untuk menyatakan pesan bahawa yang disampaikan Muhammad tersebut hanya kepada suatu umat kaum tertentu.
Disebutkan di QS Yunus [10]:47 …
“Dan bagi tiap-tiap satu umat ada seorang Rasul (yang diutuskan kepadanya) …”
Utusan Allah kepada bangsa Arab tidak harus sama seperti utusan Allah kepada kaum Musa. Ia semestinya tidak harus merumuskan 10 Syariah seperti Syariahnya umatnya Musa yaitu Bani Isra’il. Tidak harus sama. Tuhan Allah telah menetapkan perjuangan menegakan tauhid yang harus dijalani oleh tiap-tiap insan.
Pada tiap-tiap insan tersebut, Allah tidak pernah memberi ujian yang orang tersebut tidak mampu memikulnya. Tiap-tiap orang menerima ujian dari Allah dalam menjunjung ketauhidan kepada Allah. Masing-masing tidak sama ujiannya.
“Allah lebih mengetahui di mana (dan kepada siapakah yang sepatutnya) Ia berikan jawatan Rasul (dan wahyu) yang diberikanNya itu.”
QS Al An’am [6]:124.
Artikel sebelum ini | Blog Abdushomad | Artikel selepas ini |