Ketika itu Abdul Muttalib, kakeknya Muhammad, dikenal sangat berparadigma atau beralam pikiran nashara karena beliau sering terlihat bersama para rabbi (iaitu pemimpin masyarakat tauhid Bani Isra’il) yang berkiblat ke Tanah Suci Al-Quds Yerusalim dan beliau juga sering terlihat bersama Ra’is Aam yang beralampikiran nashara.Para penulis seringkali mencantumkan “pertemuan-pertemuan dan diskusi-diskusi” Abdul Muttalib dengan insan-insan dari Tanah Suci Al-Quds Yerusalim yang menjunjung tinggi tauhid kepada Allah. Insan-insan dari Tanah Suci Al-Quds Yerusalim yang menjunjung tinggi tauhid kepada Allah tersebut seringkali mengunjungi daerah Arab Tengah.

As-Suyuti menceritakan hal ini,

“Suatu hari Abdul Muttalib tengah berada di rumah beliau serta sungguh-sungguh menikmati percakapan dengan seorang rahib yang beralampikiran nashara.”

(Al-Halabiyya, hal. 122; Al-Makkiyya, hal. 73.)

Al-Abbas menambahkan,

“Abdul Muttalib mengatakan bahawa ia tengah berada di Yaman di samping seorang rabbi yang mentilawatkan Kitab Zabur.”

(Al-Halabiyya, hal. 48.)

Ibn al-Jawzi mencatat,

“Muhammad yang ketika itu berusia tujuh tahun, mengidap konjungtivitis atau peradangan selaput mata yang serius. Kakeknya mengajaknya ke ‘Ukaz untuk berkonsultasi dengan seorang ra’is aam kaum yang beralampikiran nashara yang menangani penyakit-penyakit terkait mata dan pengelihatan.”

(Al-Halabiyya, hal. 125.)

Disebutkan di Riwayat Halabiyya,

“Abdul Muttalib sering meninggalkan rumahnya dan menuju ke ‘Isa, seorang ra’is aam kaum beralampikiran nashara dari Suriah yang diberi banyak hidayah ilmu kalam ilahi dan yang tidak pernah meninggalkan tempat tahanushnya.”

(Al-Halabiyya, hal. 77.)

Pertanyaan selanjutnya kemudian muncul,

“Apakah orang tua dari Muhammad yang kelak menjadi nabi bagi seluruh pengikut agama Islam juga merupakan penganut tauhid seperti Abdul Muttalib?”

Terdapat beberapa fakta yang sangat nyata tentang orang tua Muhammad yaitu Abdullah dan Aminah. Keduanya meninggal saat putera mereka masih kecil dan rupanya hanya punya sedikit pengaruh dalam pendidikan Muhammad. Mereka tidak meninggali warisan 5 unta betina kepada Muhammad anak mereka. Pada waktu itu, umumnya orangtua wajib meninggali warisan 5 unta betina kepada anak. Tapi Abdullah dan Aminah meninggali warisan dalam wujud seorang guru wanita Ethiopia (Habasyi) yang bernama Baraka yang diberi mandat oleh mereka untuk mengasuh Muhammad. Kalau dinilai secara uang, itu adalah warisan yang sangat kecil.

Baraka, yang dikenal dengan nama panggilan ‘Umm ‘Ayman (atau Ibu nya Ayman) merupakan seorang beralampikiran nashara. Ia mengasuh sang anak yang diamanahkan kepadanya dan mendidik sang anak tersebut agar berkelakuan baik. Muhammad merespon dengan kasih sayang dan hormat terhadap pengasuhnya tersebut. Muhammad seringkali berkata padanya,

“Engkau adalah ibuku yang kedua.”

(Al-Halabiyya, hal. 117.)

Sedangkan pada kesempatan lainnya Muhammad dikabarkan berkata,

“Barangsiapa yang ingin menikahi seorang perempuan dari syurga, ia sepatutnya memilih ‘Umm ‘Ayman.”

(Al-Halabiyya, hal. 57.)

Para perawi mengakui bahwasanya orang tua Muhammad adalah orang yang dikenal baik akhlaqnya dan menjalani hidup mereka pada jalan yang lurus. Al-Fakhr al-Razi (meninggal pada tahun 1209) menyatakan,

“Orang tua Muhammad adalah haniifan musliman (QS Al Nahl [16]:120-123; QS Al Hajj [22]:78), keyakinan yang dulunya dianut Nabi Ibrahim, keyakinan yang dianut oleh orang-orang sezaman dengan mereka seperti Zayd ibn ‘Amran ibn Nufayl dan sukunya.”

Tapi sumber yang sangat dipercaya tentang bangsa Arab ini juga menambahkan,

“Kaum penyembah berhala, yakni kaum yang mengutamakan segala macam ilah-ilah, sungguh memalukan. Salah satu leluhur Muhammad boleh jadi termasuk di antara mereka.”

(Al-Fakhr al-Razl, Tafsir al-Qur’an, “Komentar atas Qur’an”, Vol. I, hal. 141.)

Para cendikiawan terkemuka seperti al-Sannussi dan Telemessani mengakui perkataan Razi. Tapi para cendikiawan tersebut menulis,

“Orang tua Muhammad tidak mengenal penyembahan berhala dan tidak mengutamakan segala macam ilah-ilah. Keduanya adalah muslim, yakni insan-insan yang berserah kepada Tuhan Allah. Muhammad berasal dari kalangan priyayi atau bangsawan yang dihormati di masyarakatnya. Muhammad keluar dari rahim yang murni dan tak pernah ternoda. Hal itu boleh terjadi pasti hanya oleh sebab haqul yaqin kepada Tuhan Allah. Apa yang diterjemahkan beberapa perawi sungguh tidak layak dan tidak sopan sampai berani menyatakan bahawa nenek moyang Muhammad adalah Jahiliyah.”

(Al-Halabiyya, hal. 58.)

Tapi, Jalal al-Suyuti memang setuju dengan al-Razi dengan menunjuk indikasi-indikasi lain yang ditemukan di surat-surat tentang bahasan mengenai kemurnian garis-garis kelahiran Muhammad.

(Al-Makkiyya, hal. 70-72.)

Tapi akhirnya para penulis Riwayat Nabi berani menyatakan bahawa,

“Orangtua Muhammad merupakan orang-orang beriman yang menjalani hidup mereka dengan cara mengamalkan sunnah-sunnah para nabi mereka. Di antara mereka tidak ada yang tidak saleh. Kedua-duanya termasuk orang yang saleh. Mereka berdua bukan orang yang kafir. Mereka berdua termasuk orang-orang yang mendirikan salat dan menjunjung tinggi iman tauhid kepada Allah dan melaksanakan syariat Allah.”

(Al-Halabiyya, hal. 48.)

Jadi jelas bahwasanya kedua orang tua Muhammad adalah “insan-insan muslim sebelum Islam menjadi kekuatan politik.

Menurut M. Quraish Shihab (2010) dalam Al-Qur’an dan Maknanya, kata muslim artinya “tunduk patuh dan berserah diri kepada Allah”.

Lihat QS Al Baqarah [2]:132

Wa waṣṣā bihā ibrāhīmu banīhi wa ya’qūbu yā baniyya …falā tamūtunnā illā wa antum muslimūn

Dan Sayidina Ibrahim (ucapan) itu kepada anak-anaknya, demikian pula Sayidina Ya’qub. “Wahai anak-anakku! … maka janganlah kamu mati, kecuali dalam keadaan muslim.”

QS Ali ‘Imran [3]:52

Qālal ḥawāriyyūna naḥnu anshārullāhi āmannā billāhi wāsyhad bi annā muslimūn

Para Hawāriyyūn (sahabat-sahabat atau penyokong-penyokong setia Sayidina ‘Isa) menjawab, “Kamilah penolong (diin) Allah. Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa kami orang-orang muslim.”

Artikel sebelum ini Blog Abdushomad Artikel selepas ini