Al-Qur’an Itu Ertinya Sesuatu Untuk Dibaca
QS Al Nahl [16]:98 …
Oleh itu, apabila engkau membaca Al-Quran, maka hendaklah engkau terlebih dahulu memohon perlindungan kepada Allah dari hasutan Syaitan yang kena rejam.
QS Al Isra’ [17]:45 …
Dan apabila engkau membaca Al-Quran (wahai Muhammad), Kami jadikan perasaan ingkar dan hasad dengki orang-orang yang tidak beriman kepada hari akhirat itu sebagai dinding yang tidak dapat dilihat, yang menyekat mereka daripada memahami bacaanmu.
QS Al Isra’ [17]:106 …
“Dan Al-Quran itu Kami bahagi-bahagikan supaya engkau membacakannya kepada manusia dengan lambat tenang; dan Kami menurunkannya beransur-ansur.”
QS Al Isra’ [17]:14 …
“Bacalah Kitab, cukuplah engkau sendiri pada hari ini menjadi penghitung terhadap dirimu.”
Perintah Kepada Muhammad: Iqra’ (Bacalah)
Selama empat puluh tahun di mana Muhammad dan Waraqa sangat dekat satu sama lain, mereka mempelajari Kitab yang diterjemahkan Waraqa, Sang Ra’is Aam, dari bahasa Ibrani ke bahasa Arab. Muhammad terpukau tidak hanya oleh pesan Injil Ibrani tersebut, namun juga jerih payah Sang Ra’is Aam dala menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Arab (Lihat Hadis Bukhari).
Al-Qur’an memberikan sejumlah indikasi bahawa tugas penerjemahan baru yang diemban oleh Waraqa mengenalkan Muhammad kepada kalam ilahi dalam Injil. Terjadinya semua hal ini menuntut kita menghapus anggapan yang menyatakan bahawa Muhammad buta huruf.
Keyakinan yang sangat dipercayai bahwasanya Muhammad tidak boleh membaca dan tidak boleh menulis bertentangan dengan semua bukti bahawa ia boleh membaca dan boleh menulis. Salah satu bukti kemampuan-kemampuan membacanya mengindikasikan bahwasanya Tuhan Allah menggunakan kemampuan-kemampuan alami untuk mengumumkan kebenaran dan kehendakNya. Tuhan Allah memercayakan pada hambanya, Waraqa, untuk berkomunikasi dengan Muhammad melalui perantara tulis-menulis, yaitu Kitab Injil Ibrani. Pernyataan Quran, “nabiyyil ‘ummiyyi” bererti suatu hal yang lain daripada yang diyakini mayoritas Muslim mengenai nabi ‘ummiyyi’ tersebut.
Penting di sini untuk membezakan apa yang diketahui dan tidak diketahui Muhammad. Apa yang diketahuinya adalah membaca dan menulis yang sudah dicapainya saat kanak-kanak. Bukti bahawa Muhammad boleh membaca dan menulis jelas tampak di Al-Qur’an dan di sumber lainnya. Sedangkan mengenai apa yang ketika itu belum diketahuinya, namun akan dipelajarinya, adalah ilmu mengenai Kitab-Kitab Allah, ertinya ilmu kalam ilahi, diiniyah, dan syariah. Ia menyerap ilmu dari contoh-contoh dan teladan seorang insan yang memiliki ‘ilmu atas kitab-kitab Allah ketika itu yaitu Taurat, Zabur dan Injil, yakni kitab-kitab sebelum Qur’an.
Muhammad mempelajari ilmu di masa kanak-kanaknya waktu ia masih dalam perlindungan kakeknya dan perwalian pamannya. Hari ini banyak pengikut Muhammad tidak tahu bahawa kemampuan membacanya berkembang sejak masih muda. Mereka dengan sengaja menekankan bahawa kitab-kitab Allah langsung turun dari langit.
Pertama, kata ummiyyi dalam Al-Qur’an, adalah seseorang atau sekelompok orang yang tidak memiliki suatu kitab suci. Bani Isra’il, keturunan Ishaq, anak Ibrahim, adalah kaum Ahli Kitab (AhliKitab), sedangkan orang-orang Arab[1], keturunan Isma’il, putra Ibrahim, merupakan kaum bukan Ahli Kitab di Arab pra-Islam ketika itu.
[1] Bezakan Bangsa Arab dengan Kaum Quraysh. Kaum Quraysh adalah bukan penduduk asli Mekah. Mereka adalah pengungsi dari berbagai tempat khususnya dari Tanah Suci Baitu Muqadas Al-Quds Yerusalem. Kaum Quraysh beralam pikir nashara yakni tawadu’ dan takzim kepada Nabi Allah Isa. Ketika Muhammad lahir tahun 570, di Mekah sudah banyak orang-orang Quraysh yang beralam pikir nashara maupun yang penyembah berhala-berhala yang disembah penduduk asli Mekah. Keturunan-keturunan Quraysh akhirnya juga disebut sebagai orang Arab, padahal nenek moyang mereka bukan asli Mekah.
Jadi ada dua golongan yaitu Ahli Kitab dan Bukan Ahli Kitab. Al-Qur’an membuat pembezaan ini. Tuhan Allah mengundang para Ahli Kitab dan kaum Bukan Ahli Kitab tersebut untuk menyerahkan diri kepada Tuhan Allah “islam.” “Katakanlah pada para Ahli Kitab dan mereka yang bukan Ahli Kitab[2]:
Apakah kalian berserah diri?” QS Ali ‘Imran [3]:20.
[2] Lihat, “Al-Qur’an & Maknanya, Tarjamahan Makna Disusun oleh M. Quraish Shihab, h. 52, 2010. Kata Ummiyyin (QS Ali ‘Imran [3], 20) adalah mereka yang tidak mendapat kitab suci, bukan golongan buta huruf.
Ini mengungkapkan hasrat golongan Bukan Ahli Kitab tersebut untuk mempelajari Kitab-kitab Allah: Terdapat orang-orang di antara kaum Bukan Ahli Kitab Allah. Mereka kaum yang tidak berkitab. Yang mereka ketahui hanyanyalah sangkaan-sangkaan sahaja.
Dan di antara mereka pula ada orang-orang yang buta huruf, mereka tidak mengetahui akan isi Kitab Taurat selain dari penerangan-penerangan bohong, dan mereka hanyalah berpegang kepada sangkaan-sangkaan sahaja.
Muhammad bangga pada waktu Tuhan Allah memilihnya dari orang-orang Bukan Ahli Kitab agar bangsa yang tidak berkitab boleh menjadi bangsa yang berkitab. Tuhan Allah mengutus seorang laki-laki dari golongan mereka. QS Al A’raf [7]:63.
Para Ahli Kitab tahu benar perbezaan antara mereka dan kaum Bukan Ahli Kitab. Ini merupakan suatu hal yang ketara.
“Tidak ada jalannya kami menanggung dosa mengenai orang-orang yang Ummi.”
Ummi bererti Bukan Ahli Kitab, yaitu kaum yang tidak boleh membaca Kitab Taurat, Zabur dan Injil kerana Kitab-kitab Allah tersebut tidak ditulis dalam bahasa mereka yang mereka boleh fahami.
“Tidak ada seruan bagi kami selain membuka jalan bagi kaum Bukan Ahli Kitab.”
QS Ali Imran [3]:75.
Ummi di sini bererti kaum yang Bukan Ahli Kitab. Kaum yang tidak boleh baca Kitab Taurat, Zabur dan Injil kerana kitab-kitab Allah tersebut tidak ditulis dalam bahasa mereka. Terkait ini, kita perlu memahami bahawa pemahaman Al-Quran mengenai keadaan ummiyyi Muhammad lebih bersifat sebagai keadaan sosial atau keadaan masyarakatnya dan bukan keadaannya secara individual.
Ayat-ayat berikut menunjukkan bahawa Muhammad meyakini ia datang dari latar belakang golongan Bukan Ahli Kitab.
“Orang-orang yang mengikuti utusan, nabi yang dari golongan Bukan Ahli Kitab.”
QS Al A’raf [7]:157.
Rasulullah (Muhammad s.a.w.) Nabi yang Ummi dan …
“Percaya pada Tuhan dan utusanNya, nabi yang dari golongan Bukan Ahli Kitab yang juga percaya pada Tuhan Allah.”
Nabi yang Ummi yang beriman kepada Allah dan Kalimah-kalimahNya (Kitab-kitabNya) (QS Al A’raf [7]:158).
Ummi bererti Bukan Ahli Kitab, yaitu kaum yang tidak boleh membaca Kitab Taurat, Zabur dan Injil kerana kitab-kitab Allah tersebut tidak ditulis dalam bahasa mereka. Ketika itu yang dijuluki sebagai Kaum Bukan Ahli Kitab adalah orang-orang Arab, keturunan Ismail, sementara para Ahli Kitab adalah Bani Isra’il, keturunan Ishaq dan insan-insan yang takdzim dan tawadu’ kepada Sayidina ‘Isa yang mentilawatkan Injil (QS Ali Imran [3]:113).
Konsekuensinya, keadaan ummiyyi Muhammad bukan berarti keadaan dia yang tidak boleh membaca dan menulis melainkan ia yang adalah salah satu dari bangsa Arab yaitu golongan yang tidak berkitab suci.
Kedua, apa yang disampaikan Malaikat Jibril kepada Muhammad dalam ayat pembukan Surah Al ‘Alaq [96]:1-6 mengindikasikan bahwa Muhammad boleh membaca:
Bacalah (wahai Muhammad) dengan nama Tuhanmu yang menciptakan (sekalian makhluk),
Ia menciptakan manusia dari sebuku darah beku;
Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah, –
Yang mengajar manusia melalui pena dan tulisan, –
Ia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.
Ingatlah! Sesungguhnya jenis manusia tetap melampaui batas.
Kajian-kajian tentang apa yang disaksikan Al-Quran, yang dilakukan oleh Para Penghimpun Sirah Nabi, Hadis, dan Sahih, semua menyatakan bahawa Surah yang ditampilkan di atas merupakan Surah pertama yang diwahyukan. Banyak cendikiawan Muslim setuju bahawa Malaikat Jibril, saat datang menemui Muhammad, membawa kitab di tangannya. Jika Muhammad tidak boleh membaca, maka ayat yang memerintah nabi untuk “baca” adalah secara umum adalah pesan penting yang berfungsi sebagai pembukaan wahyu bagi Muhammad.
Sudah selazimnya Muhammad pasti sudah memiliki ilmu pengetahuan yang diperolehnya secara alami dan sudah memiliki kemampuan membaca ketika dia dibesarkan di rumah pamannya, Abu Thalib dan ketika dia dalam perlindungan pamannya Abu Thalib. Seorang cendikiawan menjelaskan kasih sayang paman Muhammad yang luar biasa untuk keponakannya tersebut.
Abu Thalib melimpahi Muhammad dengan kasih sayang dan kehormatan. Selama beberapa dekade ia berjuang memelihara dan membesarkan dan melindungi Muhammad ketika Muhammad masih kanak-kanak.
(Ibn Sa’d, hal. 119.)
Ibn Sa’d, Sang Penghimpun berkomentar mengenai hubungan dekat antara Abu Talib dan keponakannya.
“Ia sangat menyayanginya lebih daripada menyayangi anak-anaknya sendiri. Saat Muhammad keluar, pamannya menemaninya. Abu Talib mencurahkan kasih sayangnya dan memberikan makanan-makan terbaik untuk Muhammad.”
Ia menambahkan lebih lanjut,
“Sampai meninggal dunia, Abu Talib tidak berhenti melindungi, memandu, dan mendukung Muhammad.”
Usaha yang tidak main-main yang penuh perjuangan dalam rangka merawat dan membesarkan Muhammad dilaksanakan oleh pamannya demi keponakannya yang yatim piatu tersebut. Abu Thalib selalu memastikan bahawa beliau tidak membeza-bezakan anak kandung dan anak angkat. Ali adalah anak kandung Abu Thalib. Muhammad adalah adalah anak angkat Abu Thalib.
Abu Thalib selalu memastikan anak angkatnya juga menimati pendidikan yang sama dengan yang diberikan kepada Ali, anak kandung Abu Talib. Sepupu Muhammad, Ali, kemudian menjadi penulis buku berjudul,
Jalan Kefasihan atau Nahj al-Balaqa.
Tampaknya Abu Talib memberikan apa yang dinikmati anak kandungnya tersebut kepada keponakannya juga. Abu Thalib tidak pernah membesarkan keponakan yang berada dalam perlindungannya hanya agar boleh terpenuhi kebutuhan dasarnya saja namun juga menyediakan baginya semua pendidikan dan karakter moral luhur sebagaimana yang diberikan terhadap puteranya sendiri.
Ilmu Kalam Ilahi
‘Ilmu yang ketika itu masih belum diketahui Muhammad muda akhirnya diserap dari contoh-contoh yang diteladankan oleh Waraqa, Sang Ra’is Aam. Hal itu adalah ilmu pengetahuan mengenai Kitab-kitab Allah sebelum Qur’an yang diterjemahkan Waraqa Sang Ra’is Aam ke dalam bahasa Arab. Muhammad mempelajari ‘ilmu ini dengan Waraqa dari Injil Ibrani.
Wahyu yang datang kemudian berfungsi sebagai dokumen resmi dalam menyelesaikan perselisihan(*).Melalui ‘ilmu ini, Muhammad dan para pengikutnya akan bermanfa’at bagi orang Arab ketika itu yang tersohor dengan kejahatan-kejahatannya. Orang-orang Arab tersebut tidak boleh diadili dan tidak boleh tertolong karena mereka tidak berkitab atau tidak memiliki kitab suci.
(*) Untuk studi lebih lanjut terkait topik ini, lihat komentar D. Masson terkait Surat VI, ayat 105 dalam Le Coran, hal. 831.
QS Al Qalam [68]:35-38 …
Patutkah Kami (berlaku tidak adil, dengan) menjadikan orang-orang Islam, sama seperti orang-orang yang berdosa (yang kufur ingkar)?
Apa sudah jadi kepada akal kamu? Bagaimana kamu menetapkan hukum? Adakah kamu mempunyai sesebuah Kitab (dari Allah) yang kamu baca dan pelajari?Bahawa di dalam Kitab itu membolehkan kamu mendapat apa sahaja yang kamu pilih?
Apa sebenarnya masalah kalian sehingga kalian menyamakan kedua kelompok manusia itu, Kaum Berkitab dan Kaum Tidak Berkitab? Bagaimana kalian menetapkan putusan yang tidak adil itu?
Mereka yang memiliki pengetahuan mengenai kitab menuduh Muhammad tidak membawa sesuatu yang baru. Namun tuduhan-tuduhan mereka justru berbalik melawan mereka. Sesungguhnya, Tuhan Allah menetapkan Muhammad bukan untuk membuat memperbaharui Kitab-Kitab Allah di zaman beliau tetapi untuk ‘iqra’’ membaca Kitab-kitab Allah di zaman beliau, yakni Taurat, Zabur dan Injil.
“Demikianlah Kami berkali-kali menjelaskan ayat-ayat Kami, agar hal tersebut menjernihkan persoalan bagi mereka yang mengetahuinya.”
QS Al An’am [6]:105.
Muhammad adalah salah satu orang Arab pertama yang mempelajari Kitab-kitab Allah dalam bahasa Arab, bahasa masyarakatnya.
“Waktu ayat-ayat Kami yang terang dibacakan berulangkali pada mereka orang-orang Arab ketika itu, mereka berkata: ‘Ini bukan apa-apa selain ilmu sihir.’ Namun Kami belum memberi mereka kitab-kitab yang boleh mereka pelajari, atau Kami sekali-kali tidak pernah mengutus kepada mereka sebelum engkau Muhammad sebagai pemberi peringatanpun.”
QS Saba’ [34]:43-44.
Muhammad bergabung dengan insan-insan lainnya yang mempelajari Kitab Allah yang ketika itu adalah Injil Ibrani yang menceritakan apa yang benar sahaja.
“Bukankah telah dikukuhkan oleh Allah di dalam Al-Kitab, yakni Kitab-kitab Allah ketika itu yakni Taurat, Zabur, Injil bahawa mereka tidak akan mengatakan melainkan yang benar.”
QS Al A’raf [7]:169.
Muhammad menyarankan mereka untuk mengamalkan apa yang mereka pelajari.
”Jadilah kamu orang-orang rabbani yang berpegang teguh serta mengamalkan nilai-nilai Ilahi, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab yakni Taurat, Zabur, Injil, dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”
Mereka yang tidak percaya menjadi seperti sebahagian golongan Farrisiyyin, yakni golongan ulama shuk Bani Isra’il yang tunduk kepada Kaisar Rom, yang dituduh Sayidina ‘Isa sebagai munafik karena …
“yang mereka khotbahkan tidak mereka amalkan.”
Injil Surah Matta 23:3.
Sebagaimana sudah lazimnya bagi Muhammad ketika itu, Muhammad mendapatkan kearifan dari Kitab Allah ketika itu yakni Injil Ibrani. Sudah selayaknya ketika itu, ia akan menyebarkan pesan-pesan ilahi ini dan menjelaskan ertinya pada kawan-kawan Arabnya. Kini ia merasa layak menjawab “kepada orang-orang yang suka berbicara tentang Allah tanpa ’ilmu, tanpa panduan, dan tanpa Kitab panduan yang layak.” QS Luqman [31]:20; QS Ḥajj [22]:8. Hal ini membuktikan bahawa Muhammad memiliki kemampuan untuk membaca dan memiliki ilmu Kitab-kitab Allah.
Pengetahuannya atas ilmu tidak mengurangi perannya sebagai seorang utusan Tuhan Allah karena Tuhan Allah selalu memilih para utusan dan nabi untuk mengemban suatu perjuangan untuk menegakkan ketauhidan hanya kepada Allah sahaja. Tuhan Allah selalu memperlengkapi para hambanya dengan semua cara yang lazim dipakai oleh manusia untuk menyampaikan kalam-kalam ilahiNya kepada umatNya.
Namun ketika Al-Qur’an menyinggung “ilmu yang tidak diketahui manusia,” maksudnya adalah ‘ilmu dari kitab-kitab Allah sebelumnya yang kerana perbezaan bahasa menjadi terhalang penyampaiannya kepada kaum Bukan Ahli Kitab.
’Ilmu Kalam bukanlah ‘ilmu yang didapat melalui indera keenam atau bukan ‘ilmu yang didapat melalui insting. ‘Ilmu Kalam tersebut diperoleh melalui mengaji dan belajar dari orang-orang …
“yang membaca kitab-kitab Allah sebelumnya.”
QS Yunus [10]:94.
Kepada mereka yang mengatakan,
“Seseorang yang bukan dari golongan kita telah mengajarinya,”
Ia menjawab,
“Bahasa dari orang yang mereka tuduh dengan keji tersebut adalah ‘Ajam, bukan bahasa Arab, sementara (Al-Qur’an) ini adalah dalam bahasa Arab yang terang.”
Al-Qur’an & Maknanya oleh M. Quraish Shihab, QS An Naḥl [16]:103, hal 240. tahun 2010.
Muhammad menerima tuduhan tersebut dan menyatakan bahawa tuduhan tersebut sahih.
“Saya tidak mengatakan kepadamu bahawa perbendaharaan Allah ada pada ku, dan tidak pula aku mengetahui yang ghaib dan tidak pula aku mengatakan kepada mu aku seorang malaikat.”
QS Al An’am [6]:50; QS Al A’raf [7]:188.
Hujah-hujah lain di Al-Qur’an memberikan bukti atas ‘ilmu pengetahuan Muhammad. Sejumlah saksi menyatakan bahawa ‘ilmu pengetahuan Muhammad tersebut adalah disebabkan oleh Tuhan Allah lewat perantaraan para malaikat dan para Ahli Kitab:
Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dengan kamu, dan juga disaksikan oleh orang-orang yang ada ilmu pengetahuan mengenai Kitab Allah.“
QS Ar Ra’d [13]:43.
“Bahawa Allah menyaksikan bahawa tidak ada ilah selain Allah. Inilah yang menyaksikannya: Tuhan Allah, para malaikatNya, dan mereka yang dirahmati dengan ’ilmu.”
“Seorang saksi di antara bani Israil menyatakan kemiripannya dengan kitab suci sebelumnya.”
QS Al Aḥqaf [46]:10.
Saat Muhammad menghadapi keraguan mengenai ‘ilmu pengetahuannya atas wahyu ‘ilahi, oleh Tuhan Allah, ia diperintahkan untuk meminta nasihat kepada para Ahli Kitab.
“Sekiranya engkau (wahai Muhammad) merasa ragu-ragu tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka bertanyalah kepada orang-orang yang membaca kitab-kitab yang diturunkan dahulu daripadamu.”
QS Yunus [10]:94.
Arahan ini muncul lagi di kesempatan lain saat terdapat keraguan.
“Tanyalah para Ahli Kitab, bila kamu tidak mengetahuinya.”
QS An Nahl [16]:43; Al Anbiya [21]:7.
Al-Qur’an selalu mengingatkan akan apa yang sebelumnya diwahyukan Allah.
“Dan kami turunkan kepadamu (Muhammad) adz-Dzikr, pengingat, yakni Al-Qur’an supaya engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.”
QS An Naḥl [16]:44.
Salah satu Insan-insan “yang memiliki ‘ilmu Al-Kitab” (Taurat, Zabur, Injil) dan yang menjadi saksi atas Al-Qur’an serta Rasulullah, adalah Waraqa, kerabat dekat Muhammad dan Khadijah, istri Muhammad.
Artikel sebelum ini | Blog Abdushomad | Artikel selepas ini |